Sabtu, 20 Oktober 2012

Menangani Depresi




satu-satunya suasana hati yang pada umumnya benar-benar diusahakan untuk dijauhi adalah kesedihan. Saya mengamati bahwa ada saja akal orang bila menyangkut upaya untuk menyingkirkan kesedihan. Tentu saja, tidak semua kesedihan harus dihindari; kesedihan seperti suasana hati lainnya, mempunyai manfaat-manfaat. Kesedihan yang ditimbulkan oleh suatu kehilangan mempunyai akibat tertentu yang berbeda-beda: menutup minat kita pada hiburan dan kesenangan, mengarahkan perhatian pada apa yang telah hilang, dan menghimpun energi kita untuk memulai usaha-usaha baru-sekurang-kurangnya untuk sementara waktu menyingkirkan kita dari kesibukan-kesibukan dunia rutinitas kita dan pada akhirnya membuat penyesuaian psikologis serta menyusun rencana baru yang memungkinkan kita untuk melanjutkan kehidupan.
Berduka itu bermanfaat sedangkan depresi yang berkelanjutan itu sia-sia. Depresi yang luar biasa mengenai “banyaknya manifestasi menyedihkan dari depresi”, antara lain kebencian pada diri sendiri, perasaan tak berharga, “terkurung ketidakbahagiaan sekaligus” kegelisahan mengelilingi, merasa takut dan terkucil, dan yang terutama kecemasan yang menyesakkan. Kemudian terdapat tanda-tanda intelektual: “bingung, gagal memusatkan pikiran dan mudah lupa”, dan pada tahap yang lebih lanjut pikirannya dikuasai oleh “gangguan-gangguan anarkis”. Dan adanya perasaan bahwa proses berpikirnya dihantam gelombang asing beracun yang menghapuskan setiap respon yang menyenangkan dalam kehidupan duniawi”. Ada efek-efek fisik: sulit tidur, tak berminat apa-apa bagaikan mayat hidup, mati rasa, resah, tetapi yang lebih khusus adalah perasaan tak berdaya yang ganjil seiring dengan terus menerus gelisah. Kemudian diikuti dengan hilangnya gairah: “Makanan, seperti juga semua yang harus dirasa, sama sekali tak berasa”. Akhirnya lenyaplah harapan ketika “kabut ketakutan yang samara-samar” menjelma menjadi keputusan yang begitu menyakitkan sehingga nyaris serasa nyeri fisik, suatu rasa sakit yang tak tertanggungkan sehingga bunuh diri menjadi penyelesaian.
Dalam depresi berat semacam itu, kehidupan menjadi lumpuh; tak ada energi yang muncul. Gejala-gejala depresi itu sendiri melukiskan hidup yang sedang berhenti. Tidak ada obat atau terapi yang menolong; waktu yang berlalu serta perawatan di rumah sakitlah yang pada akhirnya melenyapkan keputusasaannya. Tetapi bagi sebagian besar orang, terutama bagi orang yang penyakitnya tidak begitu berat, psikoterapi dapat membantu.
Fokus di sini adalah kesedihan yang lebih umum yang pada batas-batasnya, secara teknis disebut “depresi subklinis”, yaitu kesedihan biasa. Kesedihan ini termasuk dalam rentang keputusasaan yang dapat diatasi sendiri, bila yang bersangkutan memiliki ketahanan mental. Sayangnya beberapa strategi yang sering digunakan dapat digunakan menjadi senjata makan tuan, membuat orang merasa lebih sedih ketimbang sebelumnya. Salah satu strategi semacam itu adalah pergi menyendiri, cara ini tampaknya menarik bila orang merasa kecewa, tetapi seringkali tindakan itu hanya menambah perasaan kesepian dan terasing. Cara yang lazim digunakan untuk melawan depresi adalah bersosialisasi, makan-makan di luar, pergi nonton bioskop, atau melakukan sesuatu lainnya bersama sahabat atau keluarga. Cara ini akan berhasil bila dapat membuat orang tak lagi memikirkan kesedihannya. Tetapi tindakan tersebut semata-mata memperpanjang suasana sedih bila kesempatan tersebut digunakan untuk merenungkan apa yang membuatnya murung.
Sesungguhnya salah satu faktor utama apakah depresi akan terus bertahan atau hilang adalah kadar sampai di mana orang memikirkannya. Mengkhawatirkan apa yang merisaukan kita, tampaknya membuat depresi semakin lebar dan berlarut-larut. Pada depresi, kekhawatiran terwujud dalam beberapa bentuk, semuanya berpusat pada titik sepresi itu sendiri, yaitu betapa lelahnya perasaan kita, betapa sedikitnya tenaga atau motivasi yang kita miliki. Kekhawatiran lainnya mencakup “mengucilkan diri sendiri dan membayangkan betapa tidak nyamannya perasaan Anda.
Kadang-kadang orang-orang yang mengalami depresi mencari pembenaran atas apa yang mereka renungkan dengan alasan bahwa itu untuk “memahami diri mereka sendiri dengan lebih baik”, padahal mereka justru memicu munculnya perasaan sedih tanpa mengambil langkah apapun yang mungkin dapat melenyapkan kesedihan mereka. Jadi, dalam terapi melamun ini boleh jadi sangat menolong untuk menyelami penyebab depresi, bila menjurus pada pemahaman atau tindakan yang akan mengubah kondisi penyebab kesedihan. Tetapi secara pasif larut dalam kesedihan justru membuat kesedihan itu menjadi lebih berat.
Melamun dapat juga membuat depresi menjadi lebih parah karena dapat menciptakan keadaan yang lebih menyedihkan. Contoh seorang SPG yang mengalami depresi dan menghabiskan begitu banyak waktu untuk mencemaskan hal itu, sehingga ia tidak muncul pada momen-momen penjualan yang penting. Kemudian nilai penjualannya merosot yang justru memperparah depresinya. Bila saja ia menanggapi depresi itu dengan berusaha menghibur dirinya sendiri, barangkali ia akan menangani sendiri momen-momen penjualannya sebagai cara untuk melepaskan pikiran dari kesedihannya. Hasil penjualannya kecil kemungkinannya akan merosot, dan pengalaman melakukan penjualan itu sendiri bisa memperkuat kepercayaan diri dan mengurangi depresinya.
Nolen Hoeksma menemukan bahwa kaum wanita jauh lebih sering melamun bila sedang depresi dibandingkan kaum pria. Menurutnya hal ini mugkin merupakan sebagian penyebab mengapa kaum wanita yang terdiagnosis mengidap depresi dua kali lipat daripada kaum pria. Tentu saja faktor lain bisa ikut berperan. Misalnya kaum wanita lebih terbuka dalam mengungkapkan kesedihan mereka. Kaum pria yang mengalami depresi lebih suka menenggelamkan diri dalam alkoholisme, yang dalam hal ini jumlah mereka dua kali lebih banyak dari wanita.
Terapi kognitif yang bertujuan untuk mengubah pola pemikiran seperti itu, dalam beberapa studi telah terbukti sama efektifnya dengan obat-obatan dalam mengatasi depresi klinis ringan. Dua strategi mantap dalam memerangi depresi adalah belajar melawan pikiran-pikiran yang mencemaskannya-saat merenung mempertanyakan keefektifannya dan mencari alternatif  penyelesaian yang lebih baik dan yang kedua adalah membuat jadwal selingan yang menghibur dan menyenangkan.
Satu alasan mengapa selingan bersifat efektif adalah karena pikiran depresi bersifat automatis, masuk ke wilayah pikiran seseorang tanpa diundang. Bahkan ketika orang yang depresi mencoba menekan pikiran-pikiran yang menyedihkan, seringkali mereka tetap tidak mampu mencari alternative yang lebih baik. Begitu gelombang pikiran depresi menerjang, pikiran tersebut mempunyai pengaruh asosiasi. Misalnya ketika orang depresi diminta untuk menyusun kalimat dari beberapa kata yang ada, mereka lebih mudah menyusun kalimat yang isinya mengandung perasaan sedih, “masa depan tampaknya amat suram” dibandingkan kalimat yang menggembirakan“masa depan akan cerah”.