satu-satunya suasana hati yang pada umumnya benar-benar diusahakan untuk dijauhi adalah kesedihan. Saya mengamati bahwa ada saja akal orang bila menyangkut upaya untuk menyingkirkan kesedihan. Tentu saja, tidak semua kesedihan harus dihindari; kesedihan seperti suasana hati lainnya, mempunyai manfaat-manfaat. Kesedihan yang ditimbulkan oleh suatu kehilangan mempunyai akibat tertentu yang berbeda-beda: menutup minat kita pada hiburan dan kesenangan, mengarahkan perhatian pada apa yang telah hilang, dan menghimpun energi kita untuk memulai usaha-usaha baru-sekurang-kurangnya untuk sementara waktu menyingkirkan kita dari kesibukan-kesibukan dunia rutinitas kita dan pada akhirnya membuat penyesuaian psikologis serta menyusun rencana baru yang memungkinkan kita untuk melanjutkan kehidupan.
Berduka itu bermanfaat sedangkan depresi
yang berkelanjutan itu sia-sia. Depresi yang luar biasa mengenai
“banyaknya manifestasi menyedihkan dari depresi”, antara lain kebencian
pada diri sendiri, perasaan tak berharga, “terkurung ketidakbahagiaan
sekaligus” kegelisahan mengelilingi, merasa takut dan terkucil, dan yang
terutama kecemasan yang menyesakkan. Kemudian terdapat tanda-tanda
intelektual: “bingung, gagal memusatkan pikiran dan mudah lupa”, dan
pada tahap yang lebih lanjut pikirannya dikuasai oleh “gangguan-gangguan
anarkis”. Dan adanya perasaan bahwa proses berpikirnya dihantam
gelombang asing beracun yang menghapuskan setiap respon yang
menyenangkan dalam kehidupan duniawi”. Ada efek-efek fisik: sulit tidur,
tak berminat apa-apa bagaikan mayat hidup, mati rasa, resah, tetapi
yang lebih khusus adalah perasaan tak berdaya yang ganjil seiring dengan
terus menerus gelisah. Kemudian diikuti dengan hilangnya gairah:
“Makanan, seperti juga semua yang harus dirasa, sama sekali tak berasa”.
Akhirnya lenyaplah harapan ketika “kabut ketakutan yang samara-samar”
menjelma menjadi keputusan yang begitu menyakitkan sehingga nyaris
serasa nyeri fisik, suatu rasa sakit yang tak tertanggungkan sehingga
bunuh diri menjadi penyelesaian.
Dalam depresi berat semacam itu,
kehidupan menjadi lumpuh; tak ada energi yang muncul. Gejala-gejala
depresi itu sendiri melukiskan hidup yang sedang berhenti. Tidak ada
obat atau terapi yang menolong; waktu yang berlalu serta perawatan di
rumah sakitlah yang pada akhirnya melenyapkan keputusasaannya. Tetapi
bagi sebagian besar orang, terutama bagi orang yang penyakitnya tidak
begitu berat, psikoterapi dapat membantu.
Fokus di sini adalah kesedihan yang lebih
umum yang pada batas-batasnya, secara teknis disebut “depresi
subklinis”, yaitu kesedihan biasa. Kesedihan ini termasuk dalam rentang
keputusasaan yang dapat diatasi sendiri, bila yang bersangkutan memiliki
ketahanan mental. Sayangnya beberapa strategi yang sering digunakan
dapat digunakan menjadi senjata makan tuan, membuat orang merasa lebih
sedih ketimbang sebelumnya. Salah satu strategi semacam itu adalah pergi
menyendiri, cara ini tampaknya menarik bila orang merasa kecewa, tetapi
seringkali tindakan itu hanya menambah perasaan kesepian dan terasing.
Cara yang lazim digunakan untuk melawan depresi adalah bersosialisasi,
makan-makan di luar, pergi nonton bioskop, atau melakukan sesuatu
lainnya bersama sahabat atau keluarga. Cara ini akan berhasil bila dapat
membuat orang tak lagi memikirkan kesedihannya. Tetapi tindakan
tersebut semata-mata memperpanjang suasana sedih bila kesempatan
tersebut digunakan untuk merenungkan apa yang membuatnya murung.
Sesungguhnya salah satu faktor utama
apakah depresi akan terus bertahan atau hilang adalah kadar sampai di
mana orang memikirkannya. Mengkhawatirkan apa yang merisaukan kita,
tampaknya membuat depresi semakin lebar dan berlarut-larut. Pada
depresi, kekhawatiran terwujud dalam beberapa bentuk, semuanya berpusat
pada titik sepresi itu sendiri, yaitu betapa lelahnya perasaan kita,
betapa sedikitnya tenaga atau motivasi yang kita miliki. Kekhawatiran
lainnya mencakup “mengucilkan diri sendiri dan membayangkan betapa tidak
nyamannya perasaan Anda.
Kadang-kadang orang-orang yang mengalami
depresi mencari pembenaran atas apa yang mereka renungkan dengan alasan
bahwa itu untuk “memahami diri mereka sendiri dengan lebih baik”,
padahal mereka justru memicu munculnya perasaan sedih tanpa mengambil
langkah apapun yang mungkin dapat melenyapkan kesedihan mereka. Jadi,
dalam terapi melamun ini boleh jadi sangat menolong untuk menyelami
penyebab depresi, bila menjurus pada pemahaman atau tindakan yang akan
mengubah kondisi penyebab kesedihan. Tetapi secara pasif larut dalam
kesedihan justru membuat kesedihan itu menjadi lebih berat.
Melamun dapat juga membuat depresi
menjadi lebih parah karena dapat menciptakan keadaan yang lebih
menyedihkan. Contoh seorang SPG yang mengalami depresi dan menghabiskan
begitu banyak waktu untuk mencemaskan hal itu, sehingga ia tidak muncul
pada momen-momen penjualan yang penting. Kemudian nilai penjualannya
merosot yang justru memperparah depresinya. Bila saja ia menanggapi
depresi itu dengan berusaha menghibur dirinya sendiri, barangkali ia
akan menangani sendiri momen-momen penjualannya sebagai cara untuk
melepaskan pikiran dari kesedihannya. Hasil penjualannya kecil
kemungkinannya akan merosot, dan pengalaman melakukan penjualan itu
sendiri bisa memperkuat kepercayaan diri dan mengurangi depresinya.
Nolen Hoeksma menemukan bahwa kaum wanita
jauh lebih sering melamun bila sedang depresi dibandingkan kaum pria.
Menurutnya hal ini mugkin merupakan sebagian penyebab mengapa kaum
wanita yang terdiagnosis mengidap depresi dua kali lipat daripada kaum
pria. Tentu saja faktor lain bisa ikut berperan. Misalnya kaum wanita
lebih terbuka dalam mengungkapkan kesedihan mereka. Kaum pria yang
mengalami depresi lebih suka menenggelamkan diri dalam alkoholisme, yang
dalam hal ini jumlah mereka dua kali lebih banyak dari wanita.
Terapi kognitif yang bertujuan untuk
mengubah pola pemikiran seperti itu, dalam beberapa studi telah terbukti
sama efektifnya dengan obat-obatan dalam mengatasi depresi klinis
ringan. Dua strategi mantap dalam memerangi depresi adalah belajar
melawan pikiran-pikiran yang mencemaskannya-saat merenung mempertanyakan
keefektifannya dan mencari alternatif penyelesaian yang lebih baik dan
yang kedua adalah membuat jadwal selingan yang menghibur dan
menyenangkan.
Satu alasan mengapa selingan bersifat
efektif adalah karena pikiran depresi bersifat automatis, masuk ke
wilayah pikiran seseorang tanpa diundang. Bahkan ketika orang yang
depresi mencoba menekan pikiran-pikiran yang menyedihkan, seringkali
mereka tetap tidak mampu mencari alternative yang lebih baik. Begitu
gelombang pikiran depresi menerjang, pikiran tersebut mempunyai pengaruh
asosiasi. Misalnya ketika orang depresi diminta untuk menyusun kalimat
dari beberapa kata yang ada, mereka lebih mudah menyusun kalimat yang
isinya mengandung perasaan sedih, “masa depan tampaknya amat suram”
dibandingkan kalimat yang menggembirakan“masa depan akan cerah”.